kebunbibit.id – Di negara sebesar Indonesia, perencanaan keluarga memegang peran penting dalam mengelola pertumbuhan demografis. Meskipun berbagai metode kontrasepsi telah digunakan secara luas, vasektomi—prosedur sterilisasi permanen untuk pria—masih jarang dilakukan. Padahal, metode ini terbukti efektif, aman, dan terjangkau. Namun, minat terhadap vasektomi di Indonesia masih sangat rendah. Lantas, apa alasan di balik fenomena ini? Para profesional medis menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh kombinasi stigma budaya, misinformasi, dan bias berbasis gender.
Keyakinan Budaya dan Agama yang Mempengaruhi
Salah satu alasan utama rendahnya minat terhadap vasektomi di Indonesia adalah keyakinan budaya dan agama yang sangat kuat. Di banyak komunitas, maskulinitas seringkali dikaitkan dengan kejantanan dan kemampuan untuk memiliki keturunan. Vasektomi, yang melibatkan pemutusan saluran vas deferens untuk mencegah sperma mencapai semen, sering disalahpahami sebagai tindakan yang merendahkan atau menyerupai kastrasi.
Menurut Dr. Aditya Nugroho, seorang ahli urologi di rumah sakit yang berbasis di Jakarta, “Banyak pria yang takut menjalani vasektomi karena mereka khawatir hal itu akan mempengaruhi kinerja seksual mereka atau membuat mereka menjadi kurang maskulin. Padahal, pandangan ini tidak benar secara medis, tetapi masih sangat luas di masyarakat.”
Pandangan agama juga turut memengaruhi keputusan untuk memilih metode kontrasepsi. Meskipun tidak ada agama besar yang secara eksplisit melarang vasektomi, penafsiran lokal terhadap teks-teks agama seringkali menganggapnya sebagai hal yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Banyak pria yang menyerahkan tanggung jawab kontrasepsi kepada pasangan perempuan, memperkuat peran gender yang sudah ada.
Misinformasi dan Kurangnya Kesadaran
Faktor lain yang berkontribusi pada rendahnya angka vasektomi di Indonesia adalah kurangnya informasi yang akurat di masyarakat. Meski pemerintah telah mempromosikan program KB (Keluarga Berencana), kampanye ini seringkali lebih fokus pada metode kontrasepsi wanita seperti pil KB, IUD, dan implan.
“Sedikit sekali materi edukasi yang menjelaskan apa itu vasektomi dan bagaimana cara kerjanya,” jelas Dr. Aditya. “Akibatnya, kebanyakan pria tidak tahu bahwa vasektomi adalah prosedur sederhana, aman, dan dapat dilakukan tanpa mengganggu hasrat atau kinerja seksual.”
Di daerah-daerah pedesaan, masalah ini lebih parah. Pendidikan kesehatan terbatas, dan mitos-mitos mudah menyebar. Beberapa orang percaya bahwa vasektomi dapat menyebabkan impotensi atau komplikasi kesehatan serius lainnya. Misinformasi ini semakin menurunkan minat pria untuk mempertimbangkan vasektomi sebagai pilihan.
Dinamika Gender dalam Perencanaan Keluarga
Perencanaan keluarga di Indonesia masih dianggap sebagai tanggung jawab perempuan. Statistik nasional menunjukkan bahwa lebih dari 95% pengguna kontrasepsi adalah perempuan. Partisipasi pria dalam perencanaan keluarga masih minim, yang mencerminkan sikap sosial yang lebih luas terhadap gender dan kesehatan reproduksi.
Pandangan bahwa kontrasepsi adalah tanggung jawab wanita berkontribusi pada stigma terhadap sterilisasi pria. “Ada ketidakseimbangan yang signifikan dalam tanggung jawab kontrasepsi,” kata Dr. Aditya. “Kita perlu mengubah percakapan dan mempromosikan tanggung jawab bersama dalam kesehatan reproduksi.”
Akses Terbatas dan Kurangnya Pelatihan Penyedia Layanan
Aksesibilitas juga menjadi tantangan. Meskipun vasektomi tersedia di beberapa fasilitas kesehatan publik, layanan ini tidak sebanyak metode kontrasepsi lainnya. Selain itu, tidak semua penyedia layanan kesehatan terlatih untuk melakukan prosedur ini, dan mereka yang sudah terlatih seringkali menghadapi resistensi institusional karena kurangnya permintaan.
Dr. Aditya menekankan pentingnya pelatihan dan dukungan yang lebih baik untuk para penyedia layanan. “Jika kita ingin mewujudkan vasektomi sebagai pilihan yang lebih diterima, tenaga kesehatan harus merasa percaya diri dan didukung dalam menawarkan metode ini sebagai pilihan yang sah.”
Menuju Penerimaan yang Lebih Besar
Untuk meningkatkan angka vasektomi, para ahli menyarankan pendekatan yang lebih komprehensif: memperluas pendidikan publik, melibatkan pria dalam diskusi perencanaan keluarga, dan mengurangi bias gender dalam kebijakan kesehatan reproduksi. Kampanye nasional harus menyoroti vasektomi sebagai pilihan yang bertanggung jawab, aman, dan efektif—bukan sebagai topik yang tabu.
Media sosial dan influencer juga dapat memainkan peran besar dalam mengubah persepsi masyarakat. Cerita nyata dari pria yang telah menjalani vasektomi dan tetap menjalani kehidupan sehat dan memuaskan dapat membantu menghilangkan mitos-mitos yang beredar.
Kesimpulan
Vasektomi masih menjadi metode kontrasepsi yang tidak dipahami dan jarang dipilih di Indonesia. Norma budaya, misinformasi, dan peran gender menjadi faktor utama rendahnya minat terhadap prosedur ini. Namun, dengan edukasi yang tepat, dukungan kebijakan, dan perubahan sosial, vasektomi dapat menjadi pilihan yang lebih diterima dan layak bagi pria yang ingin berperan aktif dalam perencanaan keluarga. Seperti yang disimpulkan oleh Dr. Aditya, “Memberdayakan pria dengan pengetahuan dan pilihan adalah kunci untuk mencapai kesetaraan reproduksi yang sejati.